Kasodo untuk Bromo
Bagi para pencuri foto dan para pecinta Budaya yang fanatik, sepertinya Kasodo sudah tidak asing lagi. Upacara ini sudah menjadi agenda tahunan yang mahsyur dikenal, bahkan sampai luar Indonesia. Indikasinya mudah, banyak wisatawan mancanegara yang selalu tampak dalam upacara. Mayoritas dari mereka berasal dari Perancis dan Amerika.
Indonesia selalu seru dengan legenda-legendanya. Biasanya, pengaruh agama adalah dorongan yang paling kuat dalam penyusunannya. Tidak jarang, dalam satu kejadian banyak cabang cerita yang terpapar, termasuk Kasodo. Makna kata Kasodo sendiri dari kata kasada, artinya sepuluh, menyirat makna bulan kesepuluh pada kalender Tengger, waktu dilangsungkannya upacara Kasodo.
Kalender Tengger bukan sembarang kalender. Bukan berdasarkan rotasi bulan seperti kalender di Arab. Tidak sepaham juga dengan kalender matahari seperti yang umum dipakai penduduk dunia. Penduduk Tengger punya anutan sendiri dalam menentukan penanggalan.
Setiap empat tahun sekali, penduduk Tengger berkumpul untuk menentukan penanggalan yang berlaku untuk empat tahun berikutnya. Acara tersebut disebut Unan-Unan. Salah satu syarat penanggalan adalah jumlah hari dalam empat tahun yang ditentukan tersebut tidak boleh ganjil.
Asal-muasal upacara Kasodo sendiri berawal dari seorang pemuda bernama Jaka Seger yang meminang pemudi cantik, Rara Anteng (Tengger adalah gabungan nama keduanya). Rara Anteng adalah anak dari raja Brawijaya yang kala itu sedang berkuasa, sekitar abad ke-14. Mereka menikah dan hidup bahagia sampai suatu saat jenuh karena tidak kunjung diberikan buah hati. Maka pergilah mereka ke gunung Bromo untuk berdoa pada dewa agar mereka diberikan anak.
Terkabul, mereka diberikan anak, lagi, dan lagi, sampai jumlahnya 25 orang. Namun, mereka sebelumnya terlanjur berjanji untuk mengorbankan anak terakhirnya. Setelah yakin bahwa anak itu adalah anak terakhir mereka maka untuk menepati janjinya, mereka betul-betul mengorbankan anak bungsunya di kawah Bromo.
Belum berakhir. Setelah itu, terdengar suara seorang anak dari kawah Bromo. Suara itu meminta dirutinkannya persembahan setiap hari ke-14 di bulan Kasodo. Persembahan tahunan itulah yang kemudian banyak disebut-sebut upacara Kasodo. Dua puluh empat anak Rara Anteng dan Joko Seger tersebut yang kemudian menjadi nenek moyang penduduk Tengger yang sekarang.
Versi lain menyebutkan, zaman dulu di Jawa, Hindu menjadi agama utama bagi penduduknya. Setelah Islam masuk dan mendapatkan apresiasi yang cukup besar dari penduduk, maka sedikit demi sedikit penganut Hindu pindah ke lereng-lereng gunung, termasuk ke daerah Tengger. Mereka yang pindah ke Tengger ini yang dinobatkan sebagai nenek moyang Tengger. Versi pertama lebih popular dibicarakan banyak orang. Legenda memang lebih indah untuk dinikmati bukan diperdebatkan.
Luhur Poten
Pura indah yang berada tepat di bawah kaki Bromo itu punya nama Luhur Poten. Bangunan ini dikelilingi pagar asal batu menegaskan kewibawaan sekaligus kesombongannya. Pohon-pohon di sekeliling Pura yang sangat terawat sepertinya melambai-lambai mengajak kembali ke zaman kerajaan Mataram.
Sedikit banyak, Kasodo punya hubungan dengan Luhur Poten. Paling tidak,keduanya sama-sama dari garis Hindu. Kasodo lahir jauh lebih awal daripada Luhur Poten yang baru dibangun pada tahun 1983.
Sebelum Poten tegak, upacara Kasodo tidak menggunakan acara mampir dahulu ke Poten. Sejak adanya Poten sampai sekarang, terkesan Poten menjadi salah satu mata rantai upacara yang tidak boleh ditinggalkan. Padahal tidak demikian. Maka wajar sekali kalau akhir-akhir ini masyarakat Tengger tidak mampir dulu ke Poten, mereka langsung menuju kawah, melemparkan hasil buminya.
Ada sedikit gap di dalam intern masyarakat Tengger. Hindu Tengger dengan Hindu Bali punya budaya yang berbeda. Penetrasi Hindu Bali semakin kuat di Tengger sehingga budaya mampir ke Poten terlebih dahulu semakin ditinggalkan.
Mata rantai pertama dalam rangkaian kegiatan Kasodo adalah pengambilan air dari tiga titik. Ada upacara sendiri untuk kegiatan ini, namanya Mendak Tirta. Tiga sumber air yang dilibatkan yaitu air Gunung Widodaren di lautan pasir, air terjun Madakirapura di Kecamatan Lumbung Probolinggo, dan Watu Plosot di Gunung Semeru.
Ada yang mengatakan, membersihkan Pura Poten juga merupakan rantai wajib dalam upacara Kasodo. Biasanya dilakukan satu minggu sebelum acara puncak. Tapi sepertinya acara bersih-bersih tersebut hanyalah tambahan semata, mengingat Poten baru tegak sejak 1983 sedangkan upacara Kasodo sudah mengisi absen jauh sebelum itu.
Satu hari sebelum acara puncak, dukun-dukun dari setiap desa bergumul. Bukan dukun yang mistis seperti dalam film Suzana. Bukan pula dukun anak atau dukun yang menyembuhkan penyakit. Dukun yang dimaksud lebih mirip sebagai pemuka agama. Ada kitab yang harus dihapalnya agar bisa dinobatkan menjadi dukun.
Dukun-dukun yang hadir adalah dukun yang akan dinobatkan menggantikan dukun desanya yang sebelumnya. Setiap desa punya dukun masing-masing. Acara ini menjadi semacam regenerasi bagi dukun-dukun itu. Desa yang pada tahun tersebut tidak perlu mengganti dukunnya maka tidak perlu jua hadir dalam pergumulan dukun-dukun ini. Dukun baru yang terlibat akan dinobatkan menggantikan dukun lama di desanya.
Pada malam sebelum acara pelemparan hasil bumi yang dinobatkan sebagai acara puncak, Poten dan sekitarnya sudah riuh. Penduduk membaca-baca mantra, sembahyang, dan mengumpulkan hasil bumi yang hendak dipersembahkan di penghujung malam. Kegiatan ini bisa juga dimasukkan dalam rantai kegiatan upacara Kasodo.
Dari Bumi Menuju Bumi
Pelemparan hasil bumi yang dilakukan ketika Subuh itu bukanlah satu-satunya pelemparan. Setelah itu, ada saja yang melemparkan hasil buminya. Jumlahnya lebih sedikit daripada pelemparan yang pertama kali. Masyarakat Tengger merasa punya kewajiban pribadi yang tidak bisa diwakilkan untuk melemparkan hasil buminya.
Hasil bumi yang terlibat bukan hanya sayur-sayuran dan buah-buahan, tapi juga ayam dan kambing. Kadang terlihat kambing yang masih hidup mencoba mendaki kembali setelah dikorbankan. Banyak terlihat orang yang berebut hasil bumi tersebut setelah dilemparkan. Mereka adalah penduduk di luar Tengger. Tidak ada pencegahan yang dilakukan oleh penduduk asli Tengger. Penduduk luar Tengger memang diperbolehkan untuk memungut hasil bumi yang telah dikorbankan di kawah Bromo.
Mereka beradu cepat mendapatkannya. Kadang terlihat menegangkan ketika mereka menjatuhkan diri ke bibir kawah. Ceroboh sedikit bisa patah-patah tulangnya. Tapi sepertinya mereka sudah terbiasa melakukan itu.
Bagi masyarakat Tengger sendiri, ada harapan yang muncul dari Kasodo. Mereka berharap perlindungan, kesehatan, dan panen yang berlimpah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Motif yang sama dengan upacara-upacara daerah yang juga melibatkan hasil bumi.
Apriadi Kurniawan yang sudah melakukan riset fotografi Kasodo selama dua tahun belakangan memberikan beberapa saran jika hendak mengabadikan Kasodo. Pertama, Kasodo ini bukan ritual yang hanya melempar hasil bumi ke kawah Bromo saja, tapi sekitar empat hari sebelumnya ritual sudah dimulai dengan pengambilan air dan sebagainya. Titik puncak kegiatannya memang pelemparan hasil bumi, tapi kalau mau mencuri foto penuh ritual ini, maka datanglah sejak sekitar empat hari sebelum acara puncak.
Kedua, butuh persiapan fisik yang cukup karena acara puncaknya nonstop dari malam sampai subuh. Perjalanan dari penginapan (Cemoro Lawang) ke kawah Bromo pun tidak mudah.
Kearifan lokal punya makna yang dalam sekali, saking dalamnya terkadang tidak tampak. Khasanah budaya tersebut selalu punya nilai penting untuk dilestarikan.