Arsip

Archive for the ‘Kehidupanku’ Category

Konser Anthrax Menggetarkan Jakarta


Image

Setelah ditunggu kurang lebih 28 tahun di Indonesia, salah satu pionir thrash metal dunia, akhirnya diundang promotor Blade Indonesia untuk membayar tunai janji mereka dengan menyuguhkan salah satu konser musik cadas terbaik yang pernah digelar di Indonesia.

Selama hampir dua jam Anthrax memainkan nomor-nomor lawas seperti Got the Time, Indians, Among the Living, dan nomor dari album terbaru mereka Worship Music di hadapan sekitar 3000an penonton. 16 lagu dimainkan oleh Anthrax malam itu dengan meninggalkan sensasi yang nyaris sempurna. Sebelumnya konser dibuka dengan penampilan Hellyeah yang digawangi oleh Vinnie Paul, eks drummer Pantera.

Usai Hellyeah memanaskan suasana dengan 9 lagunya, lampu pun dipadamkan. Sekitar 10 menit berlalu, kemunculan sang drummer, Charlie Benante serasa mengobati rindu dari ribuan penggemar musik thrash metal di Pantai Karnaval, Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (31/3) malam.

Satu persatu, personil Anthrax pun mengikuti. Scott Ian dan Rob Caggiano dengan raungan gitarnya, Frank Bello yang langsung membetot bass, dan Joey Belladonna menggeber vokalnya di lagu-lagu awal seperti Earth on Hell, Fight em Til You Can’t, Caught In A Mosh, Anti Social, The Devil You Know, I’m Alive dan Indians.

“24 jam kami terbang untuk berjumpa dengan kalian. Kalian adalah teman kami, kalian harus bergerak dan menggoyangkan kepala kalian,” ucap Scott Ian, founder dari band Anthrax.

Di lagu ini, Joey sang vokalis memakai kaos timnas Indonesia. Dirinya danScott Ian memprovokasi massa untuk ikut jejingkrakan. Sontak, ribuan penonton langsung bergerak memutar, membentuk lingkaran moshing raksasa.

Suasana makin memanas saat lagu dengan suara distorsi gitar yang kuat,Belly of The Beast dikumandangkan. Sampai lagu Hymn 1, In The End, I’m Alive, Deathrider penonton tak henti berlompatan dan berteriak sehingga bumi pun serasa ikut bergoyang. Di lagu Medusa air disemprotkan kepada ribuan penonton yang masih bersemangat menyambut lagu-lagu cadas band yang terbentuk pada tahun 1981 tersebut.

Aksi Scott Ian dkk memang tak kenal lelah. Seolah panggung menjadi area untuk meluapkan ekspresi dalam setiap lagu. Mereka berlarian, berlompatan, dan bergantian mengisi posisi panggung serta memamerkan keterampilan dengan alatnya masing-masing.

“Sekali lagi terima kasih banyak Jakarta. Mungkin kami nanti akan kembali lagi. Kami akan sangat senang untuk bisa kembali lagi,” tukas Joey setelah memberikan 5 lagu sebagai suguhan encore yaitu Be All End All, Madhouse, Metal Thrasing Mad, I’m The Man dan I’m The Law

Foto Konser Anthrax di Jakarta

Image

Image

Image

Image

Image

Image

Image

Image

Kategori:Kehidupanku Tag:

American Heavy Metal, Lamb of God


Image

Lamb of God adalah salah satu band terkemuka di dunia dan juga di Indonesia. Karena menurut survey yang dilakukan lembaga Ac nielsen di jakarta, hampir 84,7 anak SMP dan SMA menyukai band ini. Band ini juga disebut sebagai pelopor genre baru dari scene Metal yang disebut Metalcore yang merebak digandrungi oleh anak muda di seluruh dunia, tak lupa di Indonesia. Lamb Of God mulai terbentuk di tahun 1990 di Richmond virgina yang pada awalnya bernama “Burn The Priest” Band ini dibentuk dari keisengan Mark Morton, Chris Adler, Abe spear dan John Campbell dalam mengisi waktu luang semasa kuliah di Virginia commonwealth University.

Kebetulan Mereka tinggal di satu asrama dan sering berkumpul dan berlatih bersama membawakan lagu lagu Slayer, Pantera, Metallica secara instrumental tanpa vokalis. Setelah mereka lulus, mereka sepakat untuk membangun band ini, dengan anggota baru bernama Randall Blythe sebagai Vokalis, dan mereka merilis demo pertama mereka di tahun 1995. Respon dari scene metal yang ‘merindukan’ jenis band dengan musik ala Pantera dengan beat – beat groovy terjawab sudah, dan lahirlah legenda baru dari ”The New Wave of American Heavy Metal”. Tetapi ditengah kesuksesan mereka Mark Morton harus meninggalkan Burn The Priest karna suatu alasan .

Pada tahun 1997, Mark Morton kembali setelah 2 tahun pergi entah kemana. 2 tahun kemudian tepatnya tahun 1999 Burn The Priest membuat album pertamanya yang diberi nama sama dengan nama band mereka “Burn The Priest”. Mereka kebetulan diberi kesempatan untuk rekaman di “Legion Records”. Mike Bronsnan selaku manager Legion Records memberi kepada mereka imbalan sebesar $…. yang mereka gunakan manggung dan mempromosikan band mereka kepada perusahaan – perusahaan rekaman besar.

Seiring kesuksesan mereka tanpa alasan yang jelas “Abe Spear” meninggalkan Burn The Priest. Hal ini membuat Mark Morton dkk memutar otak untuk mencari personel baru. Setelah sekian lama terpilihlah adik Chris Adler (drummer Burn The Priest), Willie adler yang berhasil menjadi ryhtem guitar di Burn The Priest. Karna pergantian personel dan seiring perkembangan zaman, Burn The Priest mengubah nama band mereka menjadi “LAMB OF GOD”. Berikut adalah biodata personil Lamb of god yang baru :

1. Randy Blythe

Image

Nama lengkap dari lelaki ini adalah “David Randall Blythe”, dia lahir pada tanggal 21 Februari 1971 di Richmond, Virgina. Musisi sekaligus actor yang berperan di film “The Graves” ini memang sejak SMP sudah menyukai lagu – lagu bergenre metalcore, sehingga dia memutuskan untuk bergabung dengan Burn The Priest (sekarang Lamb of god) sebagai Vocalist pada tahun 1995.

Untuk menambah penghasilannya Blythe membuat band sampingan yang diberi nama “Halo Of Locust”. Pada tahun 2007 Mereka berhasil membuat satu album yang diberi nama For The Sick yang di labeli Emetic Records. Seiring pamornya Blythe sering diminta untuk berduet dengan band – band metal papan atas lainnya, seperti Gojira di lagu Adoration For Non, Pitch Black Forecast di lagu So low, Shadow Fall di lagu King of Nothing, A life Once Lost di lagu pigeonhole, A life Once Lost di lagu vulture, Overkill di lagu Skull and Bones, dan Bloodshoteye di lagu F.U.B.A.R.

2. Mark Morton
Image
Nama lengkap dari Lead guitarist Lamb of god ini adalah “Mark Duane Morton”, dia lahir pada tanggal 25 November 1972 di Williamsburg, Virgina. Sewaktu SMA (Sebelum bergabung dengan Lamb of God), Morton dan temannya Ryan Lake, membuat sebuah Band yang diberinama “Stockwood” pada tahun 1988. Band ini sering memenangi perlombaan lokal dan audisi band, sehingga lama kelamaan band ini mulai terkenal di Williamsburg. Ditengah pamornya yang mulai berkilau Mark Morton harus meninggalkan band ini untuk kuliah Virgina University. Pada tahun 1990 Morton bertemu dengan “John Campbell”, dan “Chris Adler”. Karena mereka sekelas, mereka pun sepakat untuk membangun sebuah band yang diberi nama Burn The Priest. Hingga pada tahun 1999 band ini berganti personil dan berganti nama menjadi Lamb Of God. 

Perlengkapan :

Guitars :
• Jackson Mark Morton Dominion
• Jackson RR5
• Jackson King V 
• Jackson USA Custom Shop Swee-Tone
• Jackson Warrior
• Jackson Soloist
• Jackson Adrian Smith San Dimas DK
• Gibson Les Paul Standard Gold
• Framus Renegade Pro 
• Framus Panthera

Amplifiers & Cabinets :
• Mesa Boogie Mark IV Amplifier
• Mesa Boogie Stiletto Deuce Amplifier
• Mesa Boogie 4×12 Cabinets (x9) 
• Marshall Amplification Hot-Rodded head 
• Marshall Amplification 4×12 Cabinets 
• Orange Amplification 4×12 Cabinets
• Mesa Boogie Mark V Amplifier
• Mesa Boogie Triple Rectifier

Accessories :
• Sennheiser Wireless System
• Boss TU-2 Chromatic Tuner
• Dunlop Crybaby Wylde Wah
• MXR EVH Phase 90
• MXR Kerry King 10 Band EQ
• MXR Carbon copy delay
• Rocktron Hush Super C
• DBX 266xl Compressor/Gate
• GHS Boomer Strings 10-46
• 3XL .05m Dunlop Picks
• 1.14 mm Dunlop Tortex picks

3. Chris Adler
Image
Nama lengkap Drummer Lamb Of God ini adalah “Christopher James Adler”. Dia lahir pada tanggal 23 November 1972 di Virgina, U.S.A. Sebelum dia berkarir di Lamb Of God, Chris Adler adalah seorang Teknisi Internet di sebuah Perusahaan Raksasa ternama yang bernama “Microsoft”. Drummer yang dianugerahi sebagai drummer metal terbaik versi majalah metal hummer pada tahun 2007 ini mempunyai 5 band lain sebelum Lamb Of God yaitu, “Exit-in”, “Calibra”, “Cry Havoc”, “Jettison Charlie”, dan “Grouser”. Masing – masing mempunyai Demo Tape sendiri kecuali Jettison Charlie yang mempunyai 2 album yaitu : Hitchiking To Budapest pada tahun 1994, dan Legions Of Unjazzed pada tahun 1996. Karna Prestasinya itu Mapex dan Gibraltar bersedia untuk mensponsorinya dalam berbagi event dan konser.

Perlengkapan :
Mapex Drums & Meinl Cymbals (2009) :
Drums – Mapex Saturn Series :

• 10×9″ Tom
• 12×10″ Tom
• 16×16″ Floor Tom
• 18×16″ Floor Tom
• 22×18″ Bass Drum (x2)
• 12×5.5″ Chris Adler Signature Black Panther Snare

Cymbals – Meinl (2009) : 

• Cymbals listed clockwise
• 14″ Generation X Filter China
• 14″ Soundcaster Custom Medium Soundwave Hihat (top), 14″ Byzance Dark Hihat (bottom)
• 8″ Classics High Bell
• 12″ Soundcaster Custom Distortion Splash
• 8″ Byzance Splash
• 14″ Soundcaster Custom Medium Crash (x2)
• 16″ Mb8 Medium Crash
• 8″ Byzance Splash
• 14″ Soundcaster Custom Medium Soundwave Hihat (top), 14″ Byzance Dark Hihat (bottom)
• 18″ Byzance Medium Thin Crash
• 24″ Mb20 Pure Metal Ride
• 17″ Byzance China (Prototype)
• 16″ Generation X Filter China

Hardware :
• Trick PRO 1-V Pedals (Previously used Axis Longboard amd DW 9000 pedals).
• Gibraltar Rack System and Clamps.
• Mapex Cymbal Boom Arms.

Other :
• Aquarian Force I Bass Drum Batter Heads (with Kick Pads), Hi-Energy Snare Batter Head, Response 2 Clear Tom Batter Heads and Classic Clear Tom Resonant Heads
• Roland TD-7 Electronic Percussion Module
• DB Drum shoes
• Pro-Mark TX5AXW Chris Adler Signature Sticks
• Roland Single Trigger Pad

4. Willie Adler

Image
Nama lengkap rhythm Lamb Of God serta adik dari Drummer Chris Adler ini adalah “William M Adler”. Dia lahir pada tanggal 26 Januari 1976 di Virgina, U.S.A. Dia bersama Mark Morton adalah pencipta lagu yang paling produktif di dalam Lamb Of God. 

Perlengkapan :

Guitars :
• ESP WA-1200 
• ESP WA-600 
• ESP WA-200 
• ESP Eclipse II
• ESP M-100 FM
• ESP Alexi Laiho style custom
• Gibson White Les Paul Custom w/ EMGs
• B.C. Rich Warlock 
• Framus guitars and B.C. Rich guitar

Amplifiers & Cabinets :

• Mesa Boogie Mark IV Amplifier
• Mesa Boogie Dual Rectifier Roadster
• Framus 4×12 Cabinets (x9)

Accessories :

• Sennheiser Wireless System
• Boss TU-2 Chromatic Tuner
• Korg DTR-1 Rack Tuner
• DBX 266XL Compressor/Gate
• GHS Boomer Strings 10-52
• 1.00 mm Dunlop Tortex picks

5. John Campbell

Image

Nama Lengkap Bassist Lamb of god ini adalah “John Steven Campbel”. Dia lahir pada tanggal 30 September 1972 di Virgina, U.S.A. Pria ini baru menikah pada tahun 2008 dan mempunyai seorang anak laki – laki. Sebelum dengan Lamb of god Campbel pernah bekerja untuk RPG. Satu hal yang aneh dari Campbel, dia sangat benci dengan basis yang memakai 5 senar.

Perlengkapan :
• Jackson USA Custom Concert Bass
• Dean Markley bass strings
• Mesa/Boogie 400+ amplifier
• Mesa RoadReady and Powerhouse 8×10 cabs
• Sennheiser wireless system
• Tech 21 Sans Amp Bass Driver DI
• DBX 266XL Compressor/Gate

Kategori:Kehidupanku Tag:

Orang Indonesia, Siapakah Itu ?


Image

Jika ada yang bertanya, apakah anda bangga menjadi bangsa Indonesia? Tentu saya akan jawab “ya saya bangga”. Dengan sebuah alasan, dikarenakan Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, yang terdiri dari 17.504 pulau (termasuk 9.634 pulau yang belum diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni). Disini ada 3 dari 6 pulau terbesar didunia, yaitu : Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia dgn luas 539.460 km2), Sumatera (473.606 km2) dan Papua (421.981 km2).

Rakyat mana yang tak akan bangga, bila menjadi bangsa suatu Negara yang mempunyai banyak pulau. Indonesia bukan hanya Negara yang berdiri apa adanya. Melainkan, sebuah Negara yang sesak dengan ribuan kelebihan yang belum tentu dimiliki Negara lain. Selain  mempunyai penduduk yang cukup besar, Indonesia juga merupakan Negara muslim terbesar di dunia.

Kewajiban, yang tidak boleh tidak, harus direalisasikan oleh pemimpin Indonesia adalah mengelola dan mengembangkan apa yang telah menjadi milik Indonesia, sebagaimana rincian diatas. Sebagai bentuk syukur kepada tuhan yang telah melimpahkan karunia besar kepada kita. Selain itu, ia juga berkewajiban untuk mengelola dan memanage, guna mencapai kesetaraan dan kesejahteraan rakyat Indonesia dalam bersosial. Sebenarnya, mensejahterakan anggota, sudah menjadi tugas primer dalam diri seorang pemimpin, sekalipun tanpa kelebihan diatas. Apalagi pemimpin negara; Mengayomi dan menjamin kehidupan yang baik untuk rakyat: dalam hal ekonomi, pendidikan dan hak-hak lainnya, tuntutan atas predikat yang diberikan oleh bangsa kepadanya. Selain sebagai pemimpin, juga karena kemanusian yang melekat pada dirinya.

Tapi apa jadinya, jika sebuah negara berdiri dengan pemimpin yang tak bertanggung jawab dan tak dapat menjadi malaikat pada bangsanya? Semuanya akan berantakan: kekayaan alam tidak diproduksi, kemudian merambat pada eksistensi masyarakat. Imprialisme, kapitalisme serta kapitalisme menjadi daun-daun yang terus berkembang, menumbuhkan bunga-bunga marginalitas kemanusian dan mendehumanisasikan manusia. Hanya dikarenakan, pemimpin yang tak berkepribadian pemimpin, seribu problematika kemanusian termasuk juga ketatanegaraan muncul bertubi-tubi. Disini, ketegasan, progresif dan kepiawaian melihat peluang untuk maju sangat diperlukan, lebih-lebih bagi pemimpin negara.

Memorial Si Miskin

Indonesia, dengan beragam kekayaan pulaunya, seharusnya mampu memberikan yang terbaik. Menjadi negara superior dan tak kan (lagi) ada rakyat yang tertindas, atau kekurangan pendidikan. Ternyata, semua itu hanyalah sebuah ilusi fatamorgana kehidupan yang sangat absurd, untuk kemudian dinikmatinya bersama. Buktinya, kini Indonesia telah gagal dari visi utamanya: mensejahterakan rakyat dan menjunjung tinggi keadilan, sesuai filosofis pancasila pada sila kedua. Dari sekian penduduk yang terdata yang paling banyak adalah rakyat miskin. Penduduk dapat dikatakan miskin, apabila pendapatan tidak sampai Rp 200.000 di setiap bulannya. Inilah yang kemudian mengubah hati dan fikiran saya untuk berkata “kecewa” pada Indonesia, dan saya merasa malu menjadi bangsa Indonesia. Tidak lain karena kegagalan yang saya anggap sangat fatal. Bagaimana tidak, sedangkan segalanya sudah disediakan oleh tuhan. Tinggal bagaimana kita mengelolanya. Ternyata?

Andai saja, kita mau membangun kolektivitas, berpegang teguh pada asas kemanusiaan serta jiwa ketuhanan, niscaya tak satupun rakyat Indonesia yang mengalami kekurangan dalam hal apapun. Tidakkah cukup, kekayaan alam yang dimiliki, jika diproduksi dengan efektif akan membawa Indonesia pada tingkat kesejahteraan yang tinggi, dalam berbagai aspek? Realitas sosial, persentase penduduk miskin saat ini diperkirakan mencapai 15,97 persen. Banyak orang-orang disekitar kita merenggek, berseru serta mengoceh bersama hembusan angin, meminta balas kasih dan hak-hak mereka kepada negara. Namun, sepertinya kita percuma punya hati, telinga dan mata, ternyata tidak dapat merasa, mendengar dan melihat keperihan yang mendera mereka. Apakah sikap seperti: acuh dan tak peduli terhadap sesama pantas untuk kita miliki? Padahal negara kita mayoritas adalah berpenduduk muslim, lalu dimana sikap solidaritasnya, patriotisnya dan nasionalisnya, bukankah islam juga mengajarkan tentang kemanusiaan dan cinta tanah air? Bilangnya,  orang islam. Tapi tak berperilaku sebagai muslim. Ngakunya cinta tanah air,  nyatanya malah merusak dan membiarkannya kucar-kacir. Lalu, dimana letak ke Indonesiannya?

Negara, dengan sejumlah pejabat tinggi negara telah menjadi monster berhala baru. Para pemimpin-pemimpin negara dan para politikus hanya bergulat menuju tahta untuk mereka sendiri. Tanpa tengok sana, tengok sini. Mereka telah dimabukkan oleh pragmatisme dunia, lupa pada budi luhur Indonesia yang berpancasila. Menjunjung tinggi nasionalisme atau persatuan Indonesia dan kemanusiaan adalah dasar pancasila yang dijadikan ideologi tanpa gerak aktif yang realistis.

Lalu, siapa lagi yang akan memperhatikan dan memperjuang hak-hak kaum buruh miskin, jika ternyata, manusia yang kita tuhankan dalam negara, malah menjadi iblis diam-diam dan menghianati janji? Inikah pemimpin Indonesia? Tidak adakah dari manusia-manusia Indonesia yang pantas disebut pemimpin? Benarkah seorang pemimpin harus menduduki kursi singgasana? Akankah, pemimpin kita adalah mereka yang memandang sinis rakyat buruh tani? Sungguh, sama sekali tidak merakyat. Mereka lupa bahwa protein yang dikonsumsi, karena keringat basah kaum tani. Kaum tani tak lebih dari tuhan yang tertindas oleh hambanya, raja yang dieksploitasi oleh kaumnya. Sangat memalukan.

Adakah diantara kita yang sudi, meluangkan waktunya untuk mendengarkan ratapan rakyat yang tertindas? Atau merelakan hidup dan matinya demi memperjuangkan hak-hak kemanusiaan. Saya terharu ketika mendengarkan tuturan penjual pentol. Sekiranya dibenarkan, pemimpin Indonesia hanyalah mereka yang memperjuangkan hak-hak kemanusiaan. Tanpa menduduki kursi tertinggi yang bergengsi untuk melakukan langkah dengan dinamis. Tak gembar-gemborkan janji, justru memberi bukti sebelum diminta dan dituntut. Sadar, bahwasanya tak ada manusia yang lebih mulia, dari seorang yang memberi kebahagiaan bagi yang lain.

Masalahnya, kita tidak memiliki manusia yang berkepribadian manusia, setelah perjuangan yang berdarah-darah pada tahun 1945 tersebut. Untuk mendapatkan kemerdekaan, sehingga manusia dapat bergerak bebas dan setara. Tapi, kita terbuai oleh kemolekan kemerdekaan yang tak sepenuhnya merdeka. Kejahatan kolonialisme masih mengalir di setiap aliran darah bangsa Indonesia. Semuanya ingin merasakan menjadi penguasa adi daya. Bukan suatu yang mustahil, bila para pemimpin masih menyelipkan akal busuk di setiap kinerjanya seperti yang kita rasakan saat ini. Kemerdekaan hanya milik mereka yang berkuasa, sementara kita hanya bisa melihat tapi tak dapat merasakan. Merdeka bagi rakyat kecil hanyalah impian yang tak akan pernah tercapai, dan menjadi catatan luka yang tak tersembuhkan.

Alangkah malangnya negara ini, dipercayakan kepada manusia yang tak manusiawi. Sehingga dimana-mana sering kita jumpai rakyat meratapi ketidaksewenag-wenangan para pemimpin. Bergerak kesana salah, berjalan kesini salah. Lalu yang benar? Kebenaran tidak akan pernah ditemukan dari tangan pemimpin. Sebab, mereka tak pernah tahu makna kebenaran hakiki.

Alangkah tersiksanya negara ini, karena tidak ada keadilan yang dipancarkan dari aura sang pemimpin. Orang-orang miskin semakin terinjak dan yang beruang semakin berkuasa. Bahkan, untuk sekedar merasakan suasana pendidikan amit-amit dibolehkan, walau sebenarnya kedatangan mereka hanya untuk membersihkan laingkungan. Bukankah kita sering melihat bacaan “pemulung dilarang masuk arena kampus” Apalagi dapat merasakan manisnya bangku pendidikan. Baginya pendidikan adalah gunung tinggi yang tak mampu mereka mendaki.

Sebenarnya kita tidak pernah mengerti tentang hidup berbangsa. Memang, sacara statistik kita adalah bangsa Indonesia. Tapi ingat, bahwa Indonesia adalah blasteran antara Belanda dan Jepang. Dapat dipastikan orang-orang Indonesia terkesan menjajah dan disesakkan oleh janji-janji dalam kepemimpinannya. Maka kita tak sepenuhnya menjadi Indonesia, sebelum menangis dan melangkah untuk rakyat kecil.

Yang sulit dipercaya adalah kemampuan mereka untuk mengambil tema nasionalisme tanpa perlu terdengar menggurui. Menjadi Indonesia begitu kontemplatif. Jadi membangkitkan nasionalisme lewat gugahan perasaan yang memang tulus munculnya, bukan gembar-gembor bahwa nasionalisme harus diagungkan di posisi paling atas kehidupan bernegara. Singkatnya, nasionalisme yang diperkenalkan lewat Menjadi Indonesia bukanlah nasionalisme omong kosong yang banyak berseliweran di hidup bangsa ini.

Manusia Indonesia

Untuk menjadi Indonesia seutuhnya, tidaklah mudah sebagai membalikan telapak tangan. Pastinya kita harus dapat mengubur dalam-dalam beragam kenangan pahit bersama penjajah tersebut. Supaya darah yang mengalir dalam tubuh ini bukanlah manifestasi sifat jelek para kolonial.

Segala bentuk ragam rintangan itu dapat disingkirkan setidaknya dengan beberapa cara. Pertama, dari sejak kecil manusia-manusia Indonesia harus diperkenalkan dengan pendidikan moral—moralitas sebagai landasan kebudayaan dan keberadaban. Pendidikan moral ini dapat ditanamkan di rumah, sekolah, dan lingkungannya. Peran serta ibu dan bapak di sini begitu penting. Selain keluarga, karakteristik anak dibentuk melalui lingkungan, melalui teman sepermainan misalnya. Lingkungan berpengaruh sekali terhadap perilaku dan tingkah laku anak-anak di masa depan. Kemudian, di sekolah, mulailah anak-anak diajari prinsip-prinsip moral dengan metode agak formalistik. Di ranah ini arahan-arahan dan anjuran-anjuran terlebih dahulu diseting.

Yang lebih penting. Kedua, pendidikan moral saja tak akan cukup untuk membentuk manusia Indonesia yang beradab dan berbudaya. Bangsa ini membutuhkan figur-figur panutan. Benak manusia-manusia Indonesia terlampau penuh dengan gambaran-gambaran kecurangan yang telah dicipta, para publik figur. Sedikit sekali yang bisa menjadi figur yang baik di negeri ini, itupun hanya sebagian yang bisa bergerak dan eksis, lainnya perlahan tenggelam karena tekanan dari luar. Figur-figur yang baik tentu akan menuntun manusia Indonesia pada kebaikan. Karena figur yang baik, berawal dari masing-masing individu-individu akan menjadi panutan yang baik. Jika memang ia terlebih dahulu menjadi baik. Jadi, mulailah semuanya dari diri sendiri. Karena nilai-nilai moral akan berawal dan berkembang dari sini.

Konsep tuhan dalam alqur’an “segala bentuk perubahan dapat terkabulkan dengan catatan ada keinginan untuk berubah”. Selamat menjadi Manusia Indonesia!

Source: http://kem.ami.or.id

Kategori:Kehidupanku Tag:

Generasi Pembelajar dan Nasib Indonesia Mendatang


Image

Apakah mungkin perubahan akan terjadi di bumi Indonesia? Pertanyaan sederhana ini ternyata sukar ditemukan jawabanya, apalagi mewujudkannya secara nyata. Perubahan  memang mudah diucapkan, tetapi untuk mewujudkanya memerlukan proses yang berkelanjutan.

Pada masa kolonial, ketika bangsa Indonesia dicederai eksistensinya, perubahan seperti halnya surga. Ia menjadi cita-cita yang mulia, sehingga rakyat serentak meneriakkan perubahan yang akhirnya menjadikan Indonesia sebagai negara merdeka. Sayangnya, perubahan yang pernah diraih melalui pengorbanan yang besar justru saat ini semakin diperpuruk oleh beragam permasalahan. Kemiskinan, ketertingggalan pendidikan, eksploitasi SDA, dan disintegrasi sosial adalah sekian fakta keterpurukan negeri ini. Di tengah itu semua, korupsi tumbuh subur hampir di semua lembaga pemerintah, ditambah lagi dengan lemahnya penegakan keadilan. Cukup lah kompleks jika mau melucuti satu per satu.

Ambil contoh permasalahan kemiskinan. Kemiskinan yang semestinya menjadi prioritas utama justru jumlah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Yang mulanya penduduk yang tidak tergolong miskin, kini mulai mendekati atau  miskin. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), selama tiga tahun terkahir, jumlah penduduk hampir miskin terus bertambah secara konsisten. Pada tahun 2009, jumlah penduduk hampir miskin berjumlah 20,66 juta jiwa atau sikitar 8,99 persen dari total penduduk Indonesia. Pada tahun 2010, jumlahnya bertambah menjadi 22,9 juta jiwa atau 9,88 persen dari total penduduk Indonesia. Dan tahun ini, jumlah penduduk hampir miskin telah mencapai 27,12 juta jiwa atau sekitar 10,28 persen dari total populasi.

Sedangkan permasalahan lainya seperti ketertinggalan pendidikan, disintegrasi sosial, dan wabah korupsi juga semakin menumpuk. Parahnya lagi, ditengah maraknya tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara, penegakan keadilan justru semakin melemah. Berbagai kasus korupsi dan kekerasan, misalnya, kebanyakan tidak ditindak secara tegas.

Berbagai permasalahan bangsa diatas adalah potret buram yang harus menjadi refleksi bagi kita, bukan lantas menciutkan rasa memiliki bangsa ini, apalagi menjadikan kita semakin pesimis terhadap masa depan bangsa. Hal ini mengingat pesimisme masyarakat telah tergambar jelas dalam berbagai opini. Masyarakat telah banyak menyampaikan kritik, kegelisahan, kekesalan, dan bahkan kebencian terhadap negara. Dikhawatirkan,  kebencian ini akan menyeret pada  tindakan destruktif.

Maka dari itu, kita tidak perlu terjebak pada rasa kebencian terhadap para pengabdi negara karena kegagalanya dalam menjalankan amanah bangsa, dengan saling tuding salah, yang dalam hal ini kerap memunculkan emosi kolektif. Yang terpenting saat ini adalah sejauh mana tindakan kita untuk  melakukan perubahan bagi Indonesia, baik dalam aspek ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan budaya.

Langkah yang strategis untuk melakukan perubahan ini adalah menjadikan generasi bangsa sebagai modal utama bagi penggerak perubahan, karena dipundaknya lah nasib masa depan bangsa ini. Selama ini, problematika kebangsaan tidak disikapi secara mendasar dengan mempersiapkan anak bangsa untuk merubah Indonesia di masa depan. Langkah yang dilakukan selama ini masih bersifat instan, reaksioner, dan sementara. Padahal, sangat lah mustahil, keterpurukan bangsa yang sedemikian parahnya cukup dengan aksi sesaat. Ia melalui proses yang berkepanjangan dan berkelanjutan. Dalam hal ini, generasi bangsa (para pemuda) adalah kuncinya.

Sayangnya, selama ini, generasi bangsa yang merupakan elemen kunci bagi perubahan bangsa dianggap tidak penting. Bahkan, generasi muda dalam menatap masa depan kerap dihancurkan etosnya oleh sistem yang kotor. Generasi muda yang berkonsentrasi di bidang politik, misalnya, kerap dipatahkan masa depanya oleh kekuatan politik yang hanya dikendalikan oleh kelompok dominan dan kekuasaan modal. Begitu juga dalam bidang ekonomi, generasi muda kerap dijerumuskan oleh permainan penguasa modal. Jika demikian, bagaimana nasib bangsa ke depan, jika pemudanya sudah diberi sajian “menu kotor” terus menerus.

Karena itu, kiranya perlu menjadi kesadaran bersama, terutama para generasi muda, untuk membentuk gerakan kongkrit dalam rangka mewujudkan perubahan di Indonesia. Ditengah derasnya fakta yang memperpuruk bangsa ini, kita perlu mempertegas tugas sebagai sosok pembelajar, sehingga ia mampu mengambil sikap tegas dalam menghadapi keterpurukan. Ia tidak mudah diombang-ambingkan, apalagi dikerdilkan etosnya.

Menjadi Generasi Pembelajar

Tugas pemuda sebagai pembelajar memberikan pemahaman kepada kita bahwa pemuda bukan lah sosok yang dianggap tidak penting. Ia juga memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melakukan perubahan. Bahkan, ia merupakan aset yang berharga bagi masa depan bangsa. Pemuda tidak hanya belajar tentang (learning how to think) dan belajar dalam arti praktik (learning how to do), tetapi juga belajar menjadi dirinya sendiri (learning to be).

Belajar tentang berarti belajar tentang sesutu seperti fisika, biologi, kimia, sosiologi, politik dan sebagainya. Sedangkan belajar dalam arti praktik berarti mencoba menerapkan prilaku dan kebiasaan tertentu. Namun, ini tidak lah cukup untuk membentuk kepribadian anak muda. Ia perlu “belajar menjadi” (learning to be). Belajar menjadi berarti ia mampu melakukan sesuatu sesuai dengan karakter yang dimilikinya. Ini lah sosok pemuda yang menjadi generasi pembelajar.

Generasi pembelajar sebenarnya mengajak para pemuda untuk senantiasa mengungkap kesadaran akan jati dirinya agar tidak terombang-ambing oleh pelbagai problem kehidupan, termasuk menyangkut keterpurukan bangsa. Generasi pembelajar dalam pengertian ini,  sebagaimana diungkapkan oleh Andreas Harefa (2004;30-31), merujuk pada tanggung jawab setiap manusia untuk melakukan dua hal penting, yakni; pertama, senantiasa berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dan berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial.

Dalam menghadapi setiap keterpurukan, semisal kemiskinan, ketertinggalan pendidikan, disintegrasi sosial, merebaknya kasus korupsi, dan pelemahan penegakan hukum, ia tidak mudah pesimis untuk melakukan yang terbaik untuk bangsa ini. Ia tidak mudah terjebak pada kebencian kolektif dalam merespon banyaknya problem. Dengan mental dan kemandirinya, ia justru berusaha menjaga kepribadiannya.

Kedua, generasi pembelajar senantiasa berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan diriya dengan sepenuhnya dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang bukan dirinya. Melihat kasus korupsi yang sepertinya sudah mewabah dari generasi ke generasi, misalnya, generasi pembelajar pantang mewarisi perilaku kotor tersebut. Begitu juga dengan tindakan penyimpangan lainnya.

Kedua hal penting ini harus menjadi kesadaran generasi muda agar tidak berhenti pada sikap mengikuti “arus kemanapun berarah”. Sosok pembelajar akan semakin tegas dan jelas dalam menghadapi realitas keterpurukan. Bagi dia, realitas keterpurukan adalah bahan pelajaran dalam mengambil sikap sesuai dengan karakter yang dimilikinya.

Karakter Pembelajar

Perlu diingat bahwa generasi pembelajar bukan sekadar belajar tentang sesuatu dan belajar dalam arti praktek, melainkan ia mampu mengenali hakikat dirinya sebagai manusia. Ia bertindak berdasarkan mental kepribadian atau karakternya. Selain itu, sosok pembelajar merasa dirinya memiliki tanggung jawab yang besar terhadap apa yang menjadi tugasnya.

Krisis kepribadian yang akhir-akhir ini telah menjadi kegelisahan bersama mengingatkan kita bahwa generasi muda perlu belajar menjadi (learning to be). Menjadi generasi pembelajar, anak muda lebih mengedepankan mental kepribadiannya. Mental jujur pada dirinya sendiri, berani mengahadapi permasalahan, tanggung jawab terhadap sekitarnya, damai dalam melihat perbedaan, dan mandiri dalam merespon ketertinggalan, hanya bisa ditemukan dalam sosok pembelajar.

Selain itu, patut disadari bahwa bangsa yang cerdas dan berkarakter adalah ketika para generasi mampu mengungkap kesadaran akan hakikat dirinya, mengenali bakat terbaiknya, dan kemampuan untuk mengaktualisasikan dirinya. Hal ini merupakan kunci dalam proses pemberdayaan mental dan kreativitas anak bangsa, yang pada akhirnya nasib bangsa Indonesia mendatang semakin tercerahkan.

 Source : http://kem.ami.or.id/2012/03/generasi-pembelajar-dan-nasib-indonesia-mendatang/

Kategori:Kehidupanku Tag:

Bangga terhadap Indonesia dan Malu Berbuat Korupsi


Image

Mencoba menelusuri kebudayaan Indonesia bagaikan mengarungi lautan yang luas, sangat kaya dan membanggakan. Keluasan  budaya tersebut terdapat dari bumi belahan barat Indonesia yaitu Sabang, sampai belahan  Indonesia bagian timur, Merauke.

Namun, agar pembahasannya tidak terlalu melebar, maka ditetapkan aspek yang akan dibahas  pada tulisan ini terkait budaya Indonesia yang konon katanya menjadi budaya nusantara di abad ke-21 ini. Budaya menyusutnya rasa bangga pada tanah air serta budaya korupsi yang telah  menjamur di kalangan masyarakat Indonesia. Tulisan ini akan mencoba menjawab sebuah pertanyaan berikut. Bagaimana membangun Indonesia yang mempunyai kebanggaan atas tanah air nya serta menghilangkan budaya korupsi di Indonesia? Dalam rangka menumbuhkan rasa nasionalisme dan menjadikan Indonesia yang lebih baik di masa depan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau Republik Indonesia(RI) ialah negara  kepulauan terbesar di dunia yang terletak di asia tenggara, melintang di khatulistiwa antara benua Asia dan Australia serta antara samudera Pasifik dan Hindia. Negara kepulauan ini mempunyai sumberdaya alam yang sangat melimpah. Segala jenis tumbuhan hidup di tanah ini dan segala spesies hewan hidup di hutan Indonesia. Namun, sebagian dari kita masih merasa kurang bangga dengan negara ini. Beberapa contohnya seperti banyak yang lebih memilih tinggal diluar negeri. Banyak yang memilih produk-produk impor dari pada produk dalam negeri.

Bangga pada Indonesia

Sepenggal cerita mengenai pengakuan nyata yang diutarakan warga Singapura atas kekayaan  Indonesia(www.ekonomi.kompasiana.com). Intinya ia mengatakan “Indonesian doesn`t need the world, but the words needs Indonesia. Everything can be found here in Indonesia. Singapore in nothing. We can`t be rich without Indonesia. ” lebih lanjut ia mengatakan hal tersebut dibuktikan  dengan 500.000 orang Indonesia berlibur ke Singapura tiap bulannya. Apartement terbaru  Singapura dibeli orang Indonesia. Rumah sakit Singapura peuh di isi orang Indonesia. Akan  tetapi singapura begitu panik ketika sap huta Indonesia masuk ke negeri singa itu. Ketika bulan  agustus kemarin, terjadi krisis beras di dunia, termasuk Singapura dan Malaysia. Namun Indonesia dapat dengan mudah mendapatkan beras.

Negara Singapura membeli air bersih dari Malaysia. Sedangkan di Indonesia, air bersih didapat dengn mudah. Belum lagi negara Indonesia kaya akan pasir yang mengandung permata, tepatnya di Kalimantan. Negara lain tidak bisa meng-embargo Indonesia karena Indonesia mempunyai segalanya.

Cerita tersebut menjelaskan betapa bangganya warga negara serumpun terhadap kekayaan  Indonesia. Masihkah kita merasa tidak bangga pada tanah air kita? Untuk membuktikan  kecintaan kita terhadap tanah air. Marilah mulai dengan hal-hal kecil seperti membeli serta  menggunakan produk lokal, produk dalam negeri.

Mengatasi budaya korupsi di Indonesia.

Selain krisis rasa bangga terhadap tanah air, Indonesia juga dihadapkan pada budaya korupsi. Data menunjukkan Indonesia masih bertengger di peringkat 111 negara terkorup di dunia. dalam sebuah situs internet tertanggal 2010/03/09 indonesia berada di posisi pertama untuk kategori  negara terkorup. Berikut daftar negara-negara terkorup dan terbersih.

  1. Indonesia (terkorup)
  2. Kamboja (korup)
  3. Vietnam( korup)
  4. Filipina (korup)
  5. Thailand
  6. India
  7. China
  8. Taiwan
  9. Korea
  10. Macau
  11. Malaysia
  12. Jepang
  13. Amerika Serikat
  14. Hongkong (bersih)
  15. Australia (bersih)
  16. Singapura (terbersih)

Data tersebut membuktikan bahwa budaya korupsi memang masalah besar di negara kita. Khusus untuk masalah korupsi ini, kebocoran anggaran dan pelaksanaan pembangunan ternyata lebih parah dari masa Orde Baru. Dahulu, korupsi hanya terkonsentrasi di pemerintahan pusat. Namun kini menjadi tersebar merata di semua lapisan birokrasi. Sungguh hampir sulit mencari media massa baik cetak maupun elektronik yang tidak melaporkan korupsi. Kegiatan korupsi tersebut baik dalam tugasnya melaksanakan pembangunan yang berbasis APBN/APBD demikian juga dalam hubungannya dengan pengusaha swasta. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah korupsi yang dilakukan oleh oknum penegak keadilan yang sejatinya bertugas memberantas korupsi, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

Pertanyaan besar dibenak kita, bagaimana untuk menghapus budaya korupsi ini? Pertanyaan tersebut lebih baik kita tanyakan pada hati kita terlebih dahulu.

Untuk memberi efek jera kepada para koruptor ataupun calon koruptor tanah  air, sebaiknya masyarakat harus memberikan sanksi moral yang yang seberat-beratnya. Akan  tetapi kenyataannya masih lemah sanksi moral yang diterapkan masyarakat. Realitas di   masyarakat, para koruptor kakap justru `dipuji da ditokohkan`. Bagaimana tidak, para koruptor biasanya dermawan di tengah masyarakat. Dari donatur terbesar tempat ibadah, donatur utama panti asuhan dll.

Artinya, disatu sisi masyarakat membenci koruptor, tapi disisi lain mereka amat menghargai, menghormati bahkan membutuhkan koruptor. Para koruptor umumnya lihai  dalam mengambil simpati masyarakat. Menyadari lemahnya sanksi yang diberikan masyarakat, maka diperlukan beberapa langkah menghilangkan korupsi di tanah air.

Namun perlu disadari juga bahwa menghilangkan korupsi tidak bisa dalam sekali berantas. Penanggulangan korupsi harus melalui proses. Minimal pihak pemerintahan pusat sendiri yang memberi contoh, serta upaya birokrasi yang transparan, seperti sistem online yang telah diterapkan oleh beberapa  negara maju. Persyaratan perizinan yang jelas, biayanya berapa, selesai dalam berapa hari, bisa tracking sampai mana prosesnya. Itu semua akan mengurangi grey area.  

Beberapa hal yang  harus dilakukan oleh generasi penerus bangsa supaya terhindar dari praktek korupsi diantaranya, membudayakan rasa malu korupsi itu sendiri, menghapus image korupsi ciri orang indonesia dan menjadi pribadi yang jujur.

# Membudayakan rasa malu korupsi.

Malu merupakan terapi psikologis untuk menurunkan tingkat korupsi. Tingkat rasa malu yang  tinggi pada seseorang akan semakin tinggi pula tingkat kontrol psikologis untuk takut korupsi. Dalam hal ini kita belajar dari budaya Jepang yang mengutamakan budaya malu sebagai metode mengangkat derajat bangsa yang unggul di atas bangsa lain. Menurut laporan NewsWeek pada pada 8 tahun silam, sedikit 30.000 orang Jepang mati dengan jalan bunuh diri dan diduga keras  penyebab tingginya angka itu adalah faktor “malu”. Untuk itu, sanksi yang benar-benar keras  dari masyarakat harus di terapkan kepada para koruptor. Supaya para koruptor malu.

# Menghapus image korupsi ciri orang Indonesia

Mochtar Lubis pernah megatakan dalam orasi budayanya : Manusia Indonesia: Sebuah  Pertanggungjawaban, Jakarta 6 April 1977. ia mengatakan, mental manusia Indonesia cenderung hipokrisi yang ciri utamanya suka berpura-pura, lain di mulut lain di hati, lain di muka lain di belakang. Oleh karena itu, marilah wahai generasi penerus untuk mengubah image ini menjadi seseorang yang jujur.

# Menjadi pribadi yahng jujur

Perilaku budaya korupsi melahirkan budaya baru. Culas, main belakang, bohong. Terkait dengan  semakin bertambah usia negeri ini menjadi angka 65 tahun. Namun nyatanya negara ini masih  minim akan orang- orang yang jujur. Hal tersebut tercermin dari perilaku korup di negara ini.  Sebagai manusia yang beragama, tentunya kita dituntut untuk senantiasa jujur. Karena tidak  jujur, akan ditimpa oleh azab-Nya.

Tulisan ini hanya sebuah masukan dari orang yang baru belajar menulis untuk kemajuan indonesia yang sangat ia cintai. Semoga kedepannya Indonesia diisi oleh orang-orang yang mempunyai rasa bangga yang tinggi, di pimpin oleh manusia-manusia yang jujur serta malu untuk berkorupsi.

Source :http://kem.ami.or.id/2011/08/bangga-terhadap-indonesia-dan-malu-berbuat-korupsi/

Anak Jalanan & Masyarakat Mainstream


Image

“Terbentang jurang yang dalam, antara dua dunia, yang satu mega warna merah, penuh nafsu angkara murka.. Yang satu lagi disini, di tepi danau dan kali, diantara kerumunan lalat bertahan demi kehidupan.”

Syair diatas adalah sebuah penggalan lagu yang dibuat oleh anak-anak jalanan. Tak jelas siapa yang menciptakan. Pada tahun 1995 lagu ini cukup hits di kalangan kaum jalanan di Pulau Jawa. Jika anda pernah menggunakan jasa bus, angkot maupun jalan raya, tentunya lagu ini sering dinyanyikan oleh anak-anak jalanan yang berprofesi sebagai pengamen. Jelas terlihat bahwa syair lagu tersebut dibuat untuk mengemukakan ekspresi (pendapat, perasaan) kaum marginal (pinggiran) yang berada dijalanan.

Begini, anak jalanan tumbuh pesat sewaktu Indonesia mengalami krisis makro, yang mengakibat seluruh sektor ekonomi nasional turun drastis. Ketika inflasi melambung tinggi tak kenal kompromi, harga bahan pokok juga ikut latah. Sehingga menimbulkan gejolak resah bagi kaum miskin. Pabrik-pabrik mulai memPHKkan buruh-buruhnya. Harga padi dan sektor lainnya dijual murah pada tengkulak dan di jual mahal ke pasar. System perekonomian menjadi carut  marut, tak jelas juntrungannya.

Bagi kaum miskin kota, untuk menyambung hidup harus lah berani bertarung agar dapat bertahan. Lahan ekonomi alternatif dilakukan, baik berdagang kecil-kecilan, menjadi TKI, menjadi pelayan toko, menjadi tukang parkir, bahkan menjadi pengemis (masih banyak lagi sektor ekonomi alternatif lainnya) dilakukan.

Dijalanan sendiri, angka anak-anak yang beraktifitas (hidup dan bekerja) dijalanan menaik tajam. Menurut laporan DEPSOS (Departement Sosial) pada tahun 2004, sebanyak 3.308.642 anak termasuk ke dalam kategori anak terlantar. Kantong-kantong miskin dikota-kota besar menyuplai anak-anaknya menjadi bahagian dari denyut kehidupan kota. Jakarta, Surabaya, Bandung, Jogyakarta, Semarang dan Medan sepertinya lahan subur untuk dapat mengepulkan asap dapur.

Ironisnya, disela gegap gempitanya media massa menelanjangi aparat birokrat kita yang terganjal kasus korupsi – sudah tentu merugikan negara berpuluh-puluh trilyun rupiah– yang sekarang santer menjadi konsumsi publik. Tetap saja kebijakan untuk perlindungan anak lebih khususnya anak-anak jalanan belum -bahkan tidak – menjadi prioritas. Bagaimana tidak, ini seperti duri dalam daging. Dicari tak kelihatan, tak dicari menusuk-nusuk menyakitkan. Ambiguitas pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini hanya sekedar menjaring lewat razia (dadakan), dikirim ke Panti Asuhan (katanya untuk pembinaan). Tetapi tetap saja tidak menyelesaikan persoalan yang semakin hari semakin kompleks saja.

Baiklah kita kembali ke fokus pada tulisan ini, bahwa persoalan anak jalanan tidak hanya persoalan kekerasan fisik yang dialami, melainkan kekerasan strukural yang kerap dialami oleh kaum marginal jalanan. Lajur pembangunan yang terus terjadi mengakibatkan terjadinya keberpihakan para pemodal. Masyarakat yang memiliki pangsa modal (setidaknya menengah dan atas) maka akan dapat mengikuti lajur pembangunan tersebut. Tak heran, untuk masyarakat ekonomi lemah, maka turun kejalan untuk menciptakan ruang ekonomi alternatif akan terus menjamur.

Fenomena anak jalanan menjadi diskursus yang tak pernah usai untuk dibincangkan. Ironisnya, Indonesia telah meratifikasi KHA (Konvensi Hak Anak) pada tahun 1990 dan juga telah menerbitkan sebuah peraturan (undang-undang) yang notabene melindungi anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun. Itu termaktub di UUPA (Undang-Undang Perlindungan Anak) pada tahun 2003. Lalu menerbitkan Perda (Peraturan Daerah) ataupun instrument hukum yang mengikat tentang Perlindungan Anak pada level daerah.

Sekali lagi saya katakan ironis, tetap saja berbagai persoalan anak-anak di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Disana sini akan kita lihat bahwa masih banyak anak-anak yang tereksploitasi secara ekonomi, sosial dan budaya, seperti anak-anak yang bekerja di sektor buruh Industri, di sektor peternakan, disektor penangkapan ikan ditengah laut, disektor kaki lima dan banyak lagi. Belum lagi ditambah kasus-kasus anak-anak yang mendapat perlakuan kekerasan baik fisik maupun non-fisik, juga eksplotasi lainnya.

Sayangnya kekerasan struktural yang telah dilakukan negara terhadap anak-anak jalanan menyebabkan terbentangnya jurang yang dalam antara 2 kelompok masyarakat. Mainstream society(masyarakat mainstream) tetap menjadikan anak-anak jalanan (masyarakat yang berada – bekerja, tinggal dan hidup – dijalanan) menjadi suatu kelompok yang keluar dari adat kebiasaannya. Kaum jalanan  menjadi kelompok diluar masyarakat mainstream atau disebut sub-culture.

Media perlawanan segera – bahkan telah – dibentang oleh kaum sub-culture. Melawan  norma-norma yang menurut mainstream society itu baik. Bentuk perlawanannya bukan perlawanan bersenjatamelainkan perlawanan ruang. Ruang disini adalah matrealisme dialektis, yaitu bentuk nyata kebebasan berekspresi, berpendapat, berpartisipasi dan mendapatkan perlakuan setara yang tidak mendiskriminasi. Perlawanan dialektis ini menjadi penyeimbang tentang anggapan bahwa kaum jalanan menyukai kekerasan padahal sebenarnya TIDAK. Simbol-simbol yang digunakan memang terkesan ‘menyeramkan”, secara psikologis itu akan terbentuk dengan sendirinya, sebab itu didapatkan ketika berada dijalanan. Dan Negara yang selalu menggusur/merazia dengan menggunakan kekerasan juga mengambil andil kenapa simbol-simbol “menyeramkan” itu muncul. Dan saya tidak akan mengulas lebih jauh tentang simbol-simbol perlawanan tersebut. Suatu saat akan saya tuangkan disini.

Itu sebabnya kelompok-kelompok minoritas selalu tidak mendapat tempat untuk dapat mewarnai demokrasi di Negara ini. Intelektual muda yang progresif seakan tumbang di amuk pragmatisasi. Hanya sibuk mendiskusikan dan mewacanakan persoalan sosial ini, sementara jurang pemisah ini semakian dalam ternganga

Catatan Jalanan


Image

Mereka Menyebutku Anak Jalanan 

Setiap kali melihat anak-anak jalanan berkeliaran di pinggiran jalan atau di sekitar perempatan hati ini selalu terusik. Betapa tidak, anak-anak yang seharusnya masih bersekolah atau menikmati dunia anak-anak yang manis dalam lingkungan keluarga ternyata tak mendapatkan semuanya itu. Oleh karena keadaan atau karena tekanan orang-orang dewasa di sekitarnya mereka terpaksa menjalani hidup tidak sebagaimana mestinya.

Menjadi pemandangan umum di berbagai kota , anak-anak  berlari-lari di tengah keramaian lalu-lintas. Mereka menadahkan tangan sekadar berharap sedekah dari orang-orang yang lewat. Tak peduli hujan ataupun panas. Tak peduli bahaya mengintip di belakang mereka. Bagi mereka jalanan adalah panggung ekspresi mereka.

Bersyukurlah mereka jika masih ada orang yang berbelas kasih mengulurkan selembar uang atau melemparkan koin receh. Terkadang senyum mereka mengembang saat menerima rezeki ala kadarnya.

Siapakah mereka ? Tak ada yang mau peduli. Bagi sebagian masyarakat, keberadaan anak-anak jalanan seperti ini seringkali dipandang tak lebih sebagai pengganggu pemandangan dan kenyamanan. Bagi mereka sekadar memberi uang receh, mungkin sudah dianggap cukup. Perhatian pemerintah pun rasanya masih minim. Malah dari hari ke hari keberadaan mereka terus bertambah. Tak hanya di kota besar, di kota kecil pun anak-anak jalanan mulai menjamur.

Adakah yang bisa dilakukan untuk mereka ?

 

Anak Indonesia , Anak Masa Depan



Anak-anak Indonesia anak-anak derita tanpa sempat bermain. Bekerja keras membantu bahkan menjadi orang tua layaknya orang dewasa. Terhampar di sepanjang jalan dan trotoar bahkan di kolong-kolong jembatan kekumuhan. Tanpa pendidikan dan kurang perhatian. Sangat berbeda dengan anak gedongan yang serba kecukupan dan hidup berkemewahan di belantara hutan beton pencakar langit.

Anak-anak Indonesia adalah anak-anak kebanyakan. Yang terseok-seok di koridor kehidupan tanpa pernah berharap belas kasihan saudaranya dari kalangan gedongan. Hidup mandiri berjuang menantang kerasnya kehidupan. Tidak mengenal waktu siang dan malam. Sepanjang waktu mereka mengais kehidupan tanpa pernah tahu seperti apa masa depan. Melindungi diri sendiri dengan kekerasan yang mereka anggap sebagai pertarungan.

Anak-anak Indonesia yang tersisihkan. Sangat jauh dari perhatian tapi tetaplah dicintai sang pengelola kehidupan. Hidup tanpa beban tujuan hidup hanyalah mencari makan. Kehidupan jalanan yang keras mengajarkan mereka memenangkan pertarungan. Hidup dan mati bukanlah sesuatu yang perlu di pikirkan. Hanya meyambung dan melanjutkan kehidupan yang menjadi pikiran.

Anak-anak Indonesia adalah anak masa depan yang harus kita pikirkan. Cukup sandang dan pangan mereka adalah tugas dan kewajiban kita sekalian. Karena mereka anak-anak Indonesia yang bukan hanya sekedar perlu di kasih makan. Mereka juga perlu pendidikan dan kelangsungan masa depan. Jangan tutup mata dan telinga untuk menatap dan mendengar penderitaan. Karena derita mereka adalah derita kita sekalian.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk anak-anak Indonesia yang juga anak-anak masa depan, yang jauh dari kemapanan dan korban kesenjangan.

Negara Anak Terlantar


Image

Silahkan tercengang. Satu fakta mengejutkan ada di sekitar kita. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, jumlah anak penyandang masalah kesejahteraan sosial (usia 0-18 tahun) di Indonesia per Desember 2009 mencapai 4.656.913 jiwa atau setara dengan jumlah penduduk negeri jiran, Singapura. Jika tahun 2009 saja sudah mencapai angka yang fantastik itu, bagaimana di tahun 2010?

Menurut data tersebut, mereka yang disebut penyandang masalah kesejahteraan sosial anak adalah anak balita telantar, anak telantar, anak jalanan, dan anak nakal atau anak yang berhadapan dengan hukum. Artinya, angka itu sudah bisa membentuk satu negara lagi dalam negara ini, yaitu negara anak terlantar.

Ironisnya, ditengah keprihatinan ini, para angota dewan kita, yang mengaku sebagai wakil rakyat masih kekeh dengan keinginan membangun gedung DPR yang menelan biaya triliunan rupiah. Sepertinya niat para wakil kita di DPR untuk merenovasi gedung DPR tidak terbendung lagi. Seolah mata mereka telah buta, tidak lagi bisa melihat derita rakyat Indonesia. Demikian juga telinga mereka telah tuli, tidak lagi mendengar jeritan derita rakyat dan suara-suara yang menolak keinginan mereka yang kekanak-kanakan itu. Dan nurani merekapun ternyata telah tumpul oleh nafsu duniawi yang gila harta dan kekuasaan. Mereka telah gelap mata, tidak mampu membedakan lagi mana yang terbaik dilakukan untuk negara ini dan mana yang tidak harus dilakukan. Merekapun telah hilang daya akalnya yang diberikan Yang Kuasa untuk berpikir kritis dan mampu membuat prioritas dalam membuat keputusan. Banyak masukan dari rakyat, baik yang bernada santun mapun yang bernada kurang santun menanggapi ide DPR untuk merenovasi “gedung rakyat” yang masih kokoh itu. Namun, bagaikan suara dalam gua, suara-suara itu tidak didengarkan dan hanya menggema kembali kepada yang bersuara.

Belum lagi hilang rasa sakit hati kita sebagai rakyat mendengar bahwa rencanan pembagunan gedung DPR pasti akan terealisasi, sejumlah oknum di berbagai departemen pemerintah melakukan keserakahan dengan tindak korupsi. Mereka memenuhi pundi-pundi uang mereka dari uang yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Alih-alih para penegak hukum menegakkan keadilan dan menyeret para pelaku korupsi ke meja pengadilan, mereka justru menjadi bagian di dalam “permainan” ini. Belakangan ini saban hari kita disuguhi dengan informasi tentang mafia hukum.  Geram, gregetan dan sakit hati ini mendegarnya. Akhirnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah perlahan namun pasti semakin kecil.  Terlebih lagi ketika sang presiden curhat tentang gajinya yang tidak naik selama 7 tahun.

Kondisi inipun direspon pendidikan kita dengan merancang pendidikan berbasis karakter. Beramai-ramai lembaga pendidikan menyelenggarakan seminar tentang pendidikan karakter. Sungguh indah ketika para ahli pendidikan dan para pemegang kebijakan dalama pendidikan berbicara tentang pendidikan berbasis karakter ini. Namun, masihkah kita bisa percaya dengan sistem pendidikan kita yang suka gonta-ganti kurikulum ini? Sulit rasanya untuk percaya. Bagaimana kita harus percaya kepada pendidikan berbasis karakter ini  sedangkan para pemimpin saja tidak memiliki karakter kepedulian kepada sesama (humanity) dan karakter keadilan (justice)

Menciptakan Pilihan bagi Gelandangan & Pengemis Anak-Anak


Image

Perasaan sedih, iba, gundah, marah dan lucu kadang-kadang tercampur baur menjadi satu ketika melihat aksi para gelandangan ataupun pengemis anak-anak. Betapa tidak, dengan hanya menggunakan atribut seadanya dan bermodalkan sebuah cawan baik yang terbuat dari kaleng maupun plastik, mereka mencoba mengundang perhatian para dermawan agar dapat memberikan “uang ala kadarnya”. Tidak hanya itu, dengan kepolosannya mereka seakan-akan tidak mau tau apa yang lagi dialami oleh para calon pelanggannya, malahan kadang-kadang yang menggelitik, dengan berkedok sebagai pengamen jalanan, ketidakfasihan seorang bocah mengucapkan kata-kata terdengar dari mulutnya ketika mereka mengawali aksinya dengan lantunan sebuah lagu yang diiringi musik tak berpola.

Kondisi ini semakin hari semakin memprihatinkan, karena tidak hanya di persimpangan jalan (traffic light), disepanjang emperan toko, terminal, stasiun, angkutan umum sampai di tempat hiburan pun mereka tidak sulit ditemukan. Terlebih lagi saat ini, ternyata fenomena serupa tidak hanya dapat ditemui di Kota-kota besar saja, namun telah menjalar dan sekaligus menjadi pemandangan yang tidak asing juga bagi masyarakat di daerah.

SEBAGAI PENGEMIS BUKAN PILIHAN

Jika kita mengasumsikan gelandangan dan pengemis anak-anak ini adalah mereka yang kesehariannya hidup di jalanan (anak jalanan), maka berdasarkan data yang dikeluarkan pusat data dan informasi kesejahteraan sosial kementerian sosial R.I pada tahun 2008 saja jumlahnya sudah mencapai 109.454 jiwa dari 2,25 juta jiwa anak yang tergolong terlantar. Jumlah tersebut tentunya belum dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya pada saat ini, khususnya data gelandangan dan pengemis anak-anak, mengingat data tersebut merupakan data 2 (dua) tahun lalu dan kemungkinan perubahan jumlahnya juga sangat besar. Berapapun jumlah gelandangan dan pengemis anak-anak saat ini, realitasnya menunjukkan bahwa mereka tetap ada di sekeliling kita dan kemungkinannya sampai kapan belum ada yang dapat menjawabnya secara pasti.

Sebagian besar manusia di dunia ini mungkin sepakat jika dikatakan Hidup ini penuh dengan pilihan. Namun, hal ini sangat tidak mungkin berlaku bagi anak-anak yang kesehariannya hidup dijalanan tersebut, khususnya mengais rejeki dengan cara menjadi pengemis. Keberadaan mereka di jalanan lebih diakibatkan karena kemiskinan yang turun-temurun mendera mereka. Orang tua yang diharapkan dapat memberikan penghidupan yang layak bagi mereka, untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari pun sulit untuk dipenuhi, apalagi untuk menyekolahkan mereka. Kondisi ini juga diperparah dengan adanya mafia jalanan yang secara “tega” telah meraup keuntungan memanfaatkan kondisi ini, dengan bangganya orang-orang yang tidak bertanggungjawab tersebut memobilasi para anak-anak ini untuk menjadi pengemis dijalanan. Hal inilah yang kemudian membuat para generasi penerus harapan bangsa ini seakan-akan kehilangan masa depan serta tak dapat mengelak dari kerasnya kehidupan jalanan, yang pada akhirnya tidak ada pilihan lain, kecuali dengan mengemis.

BERKARYA SEJAK USIA DINI

Mengemis memang bukan satu-satunya pekerjaan yang dapat dilakoni anak-anak tersebut dalam mengais rejeki di jalanan, mengamen, menyemir sepatu, menjadi kuli panggul, menjadi pemulung dan tukang parkir juga menjadi pekerjaan yang tidak asing bagi mereka. Namun, apakah hanya itu yang mereka bisa lakukan? Jawabannya tentu tidak.

Ada fenomena menarik dibalik anak-anak jalanan ini. Ternyata hampir sebagian besar dari mereka memiliki kemauan dan kemampuan untuk mendapatkan kehidupan layak dimasa depan. Lihat saja, ternyata ada sebagian diantara anak-anak ini yang mengemis untuk membiayai keperluan sekolahnya. Begitupula, prestasi yang ditunjukkan oleh “Aris” dalam ajang Indonesian Idol, maupun “klantink” dalam ajang Indonesia Mencari Bakat (IMB), kesemuanya ini telah membuka mata kita dan membuktikan kepada masyarakat bahwa anak-anak jalanan pun memiliki talenta yang berpotensi untuk dikembangkan. Sama halnya bagi anak-anak usia 6-18 tahun yang berprofesi sebagai pengemis tersebut, sebenarnya mereka juga memiliki bakat atau potensi untuk dikembangkan dan disalurkan ke hal-hal yang positif serta menghasilkan uang.

Untuk itu, sebagai upaya solutif dan konstruktif dalam rangka membebaskan anak-anak yang tak berdosa ini dari kekangan kehidupan jalanan serta guna menciptakan pilihan bagi mereka, perlu diupayakan suatu program strategis dan kreatif yang dapat membina mereka agar dapat berkarya sejak usia dini. Walaupun belum saatnya bagi mereka dibebani dengan usaha mencari nafkah, namun melatih suatu keterampilan yang dapat memacu mereka untuk berkarya tidak salah jika dilakukan sejak dini. Apalagi jika dengan penguasaan pada keterampilan tersebut, mereka dapat menciptakan karya yang bernilai jual, tentunya akan semakin banyak pilihan bagi mereka daripada sebagai pengemis.

PENELUSURAN MINAT DAN BAKAT

Sudah saatnya kita merubah mindset dalam penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis anak-anak ini. Mereka tidak dapat dijadikan objek dari pelaksanaan program-program sosial yang berorientasikan proyek yang berkelanjutan saja, tapi harus berorientasi pada upaya membina mereka agar dapat memiliki keterampilan dan berkarya walaupun sejak usia dini. Oleh karena itu, sebagai wujud dari terbentuknya mindset ini, harus diawali dengan pendataan yang seksama, tidak hanya terbatas mendata jumlah mereka saja, namun juga harus dibarengi dengan penelusuran minat dan bakat mereka. Dalam pendataan, harus melibatkan para psikolog ataupun mereka yang ahli dalam pengembangan minat dan bakat, karena dengan pemetaan minat dan bakat tersebut, dari sinilah program-program pembinaan dapat digulirkan, sehingga lebih terencana, terarah dan sesuai dengan kebutuhan.

Hal ini tentunya juga berlanjut pada proses pelaksanaan program-programnya, harus melibatkan para ahli dibidangnya masing-masing, guna menjamin transfer ilmu pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang lebih bermutu dan interaktif. Tidak hanya membebani para penggiat sosial, yang kadangkala hanya mengandalkan semangat pantang menyerah tanpa memiliki kompetensi yang cukup.

MENENTUKAN PILIHAN TERBAIK

Menciptakan pilihan tidak sama dengan menciptakan peluang, sehingga masih perlu kerja keras untuk menentukan pilihan yang terbaik. Dalam dunia ekonomi, dikenal istilah biaya kesempatan (oportunity cost) sebagai akibat dari keputusan mengambil suatu alternatif (pilihan) tertentu. Biaya kesempatan merupakan nilai keuntungan yang dikorbankan dari suatu alternatif sebagai konsekuensi dari tidak dipilihnya altenatif tersebut. Pilihan terbaik adalah pilihan yang memiliki biaya kesempatan yang rendah atau dibawah dibandingkan nilai keuntungan yang didapatkan atas alternatif yang dipilih. Untuk itu, tidak hanya dengan menciptakan pilihan, diperlukan stimulus yang dapat mengarahkan para gelandangan dan pengemis anak-anak (anak jalanan) ini agar dapat menentukan pilihan terbaik bagi kehidupan mereka dan keluarganya di masa yang akan datang.

Tentunya hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, namun juga menjadi tanggungjawab semua masyarakat, khususnya bagi mereka yang berkomitmen dan peduli terhadap nasib anak-anak sebagai generasi penerus bangsa.